clock December 24,2023
Mahkamah Konstitusi Hapus Presidential Threshold: Dampak dan Sejarahnya

Mahkamah Konstitusi Hapus Presidential Threshold: Dampak dan Sejarahnya

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membuat keputusan penting dengan menghapus ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden dan calon wakil presiden, atau yang dikenal sebagai presidential threshold, yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Keputusan ini menandai perubahan signifikan dalam lanskap politik Indonesia.


Sebelumnya, aturan presidential threshold mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik untuk memiliki setidaknya 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional untuk dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden. Namun, Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa norma Pasal 222 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.


Presidential threshold pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004, yang juga merupakan pemilihan presiden langsung pertama di Indonesia. Saat itu, ambang batas pencalonan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 5 ayat (4) menyatakan bahwa pasangan calon hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional.


Pada pemilu tersebut, terdapat empat pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Wiranto-Salahuddin Wahid, Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, Amies Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla. Pilpres yang berlangsung dua putaran ini akhirnya dimenangkan oleh pasangan SBY-Jusuf Kalla.


Pada Pemilu 2009, aturan presidential threshold kembali diterapkan dengan perubahan besaran ambang batas melalui UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ambang batas menjadi 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Dengan ketentuan ini, ada tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden, yaitu Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, SBY-Budiono, dan Jusuf Kalla-Wiranto. Pilpres 2009 dimenangkan oleh SBY-Budiono dengan perolehan suara 60,80 persen.


UU Nomor 42 Tahun 2008 tetap menjadi acuan dalam Pemilu 2014, sehingga aturan presidential threshold tidak berubah dari Pilpres 2009. Pada Pilpres 2019, UU Pemilu yang menjadi acuan berubah menjadi UU Nomor 7 Tahun 2017, yang tetap mempertahankan ketentuan ambang batas. Pilpres 2019 diikuti oleh dua pasangan calon, yaitu Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno, dengan Jokowi-Ma'ruf keluar sebagai pemenang.


Pada Pemilu 2024, sebelum keputusan MK, ketentuan presidential threshold masih mengikuti UU Nomor 7 Tahun 2017. Tiga pasangan calon yang maju adalah Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Berdasarkan rekapitulasi suara KPU RI, Prabowo-Gibran keluar sebagai pemenang.


Penghapusan presidential threshold oleh MK membuka peluang lebih besar bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi ambang batas tertentu. Keputusan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi politik dan memberikan lebih banyak pilihan kepada pemilih dalam menentukan pemimpin negara.


Namun, perubahan ini juga menimbulkan tantangan baru dalam sistem politik Indonesia, terutama dalam menjaga stabilitas dan efektivitas pemerintahan. Dengan lebih banyak calon yang mungkin muncul, persaingan politik bisa menjadi lebih ketat, dan koalisi pemerintahan mungkin memerlukan negosiasi yang lebih kompleks.


Keputusan MK ini menandai babak baru dalam demokrasi Indonesia, dan bagaimana dampaknya terhadap dinamika politik ke depan akan menjadi perhatian utama bagi para pengamat dan pelaku politik di tanah air.

Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?

Berita Terkait

Follow US

Top Categories