Jakarta - Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 telah memicu gelombang penolakan di tengah masyarakat. Hampir 200 ribu orang telah menandatangani petisi menolak kebijakan ini, dan berbagai unjuk rasa telah digelar sebagai bentuk protes.
Kenaikan PPN ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Meskipun pemerintah telah memastikan kenaikan ini akan tetap dilaksanakan, mereka juga menawarkan paket insentif dan stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat. Namun, langkah ini belum mampu meredam suara-suara yang menuntut pembatalan kenaikan PPN.
Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios), Mhd Zakiul Fikri, menyarankan agar pemerintah mengevaluasi kebijakan ini. Menurutnya, ada opsi untuk menyesuaikan tarif PPN menjadi lebih rendah, seperti yang tercantum dalam Pasal 7 ayat 3 UU HPP, yang memungkinkan PPN diubah menjadi 5% atau dinaikkan hingga maksimum 15%. Namun, Zakiul menilai bahwa ketentuan ini dapat menimbulkan kekacauan hukum karena ambiguitas dalam penentuan tarif.
Pelaksanaan perubahan tarif PPN harus melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sesuai dengan Pasal 7 ayat 4. Proses ini diperkirakan akan memakan waktu lama, sementara tenggat waktu menuju Januari 2025 semakin dekat. Zakiul menegaskan bahwa menurunkan atau menunda kenaikan PPN hampir mustahil dilakukan karena pemerintah berfokus pada pelaksanaan Pasal 7 ayat 1.
Zakiul mengusulkan agar Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan kenaikan PPN. Ia menilai bahwa penerbitan Perppu bukanlah hal yang langka dalam politik regulasi Indonesia, mengingat presiden sebelumnya telah menerbitkan beberapa Perppu untuk alasan mendesak.
Selain Zakiul, mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Hadi Poernomo, juga mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN dan mengembalikannya ke 10%. Hadi menekankan bahwa kebijakan perpajakan harus melindungi daya beli rakyat kecil dan mendorong pemerataan ekonomi.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menambahkan bahwa kenaikan PPN dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Ia menyarankan agar pemerintah bercermin pada pengalaman Malaysia, yang sempat menaikkan tarif PPN namun kemudian menurunkannya kembali setelah melihat dampak negatifnya.
Penolakan terhadap kenaikan PPN 12% terus bergulir di masyarakat. Usulan untuk menerbitkan Perppu menjadi salah satu solusi yang diharapkan dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat luas, terutama kalangan menengah dan bawah yang paling terdampak. Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan berbagai masukan ini demi menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?