Fenomena Santa Claus Rally pertama kali diperkenalkan oleh Yale Hirsch dalam Stock Trader's Almanac pada tahun 1968. Fenomena ini dikenal sebagai periode di mana harga saham cenderung naik pada minggu terakhir bulan Desember hingga awal Januari. Bagi para investor, ini adalah momen yang dinantikan karena memberikan peluang untuk meraih keuntungan menjelang akhir tahun.
Selama sepuluh tahun terakhir, data historis menunjukkan bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sering kali mengalami kenaikan selama periode Santa Claus Rally. Momentum ini, yang juga bertepatan dengan Window Dressing, membuat probabilitas IHSG ditutup dengan kenaikan sangat tinggi, mencapai peluang 90%.
Namun, tahun ini tampaknya berbeda. Alih-alih mendapatkan berkah dari Santa Claus Rally, IHSG justru mengalami penurunan. Pada Desember ini, IHSG sempat jatuh di bawah level 7000. Berdasarkan pemantauan CNBC Indonesia Research hingga Selasa (24/12/2024), IHSG terkoreksi 0,43% dalam sehari ke posisi 7065,74. Koreksi ini memperdalam penurunan dalam seminggu terakhir sebesar 1,29%, dan dalam sebulan turun 3,40%. Sejak awal tahun, IHSG masih terkoreksi 2,85%.
Salah satu faktor yang mempengaruhi sulitnya IHSG untuk menguat adalah prospek perlambatan penurunan suku bunga pada tahun depan. Bank Indonesia (BI) hanya menurunkan suku bunga sekali pada tahun ini, yaitu pada September sebesar 25 basis poin (bps), sehingga BI Rate bertahan di level 6%. Sementara itu, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun ini, dan diproyeksikan hanya akan turun dua kali pada tahun depan.
The Fed dalam Summary of Economic Projections/SEP pekan lalu menunjukkan potensi penurunan suku bunga pada 2025 hanya sebesar 50 bps, setengah dari target sebelumnya. Hal ini menyebabkan yield US Treasury melonjak, mendorong indeks dolar AS (DXY) naik di atas level 108. Selain itu, kebijakan debt ceiling AS yang berpotensi dihapus oleh Trump menambah ketidakpastian. Debt ceiling adalah batas maksimal utang yang bisa ditarik pemerintah AS melalui penerbitan obligasi. Jika batas ini dihapus, utang AS bisa meningkat tanpa batas, yang berpotensi meningkatkan yield US Treasury lebih lanjut.
Dengan yield yang tinggi, investor cenderung beralih ke obligasi yang dianggap lebih aman dibandingkan saham. Hal ini menjadi tantangan bagi aset berisiko dan mata uang pasar berkembang, termasuk rupiah yang masih tertekan terhadap dolar AS, berada di level Rp16.000/US$. Yield yang tinggi juga membuat yield Surat Berharga Negara (SBN) RI sulit turun, kemungkinan bertahan di atas 7%.
Fenomena Santa Claus Rally yang biasanya membawa angin segar bagi IHSG tidak terjadi tahun ini. Berbagai faktor eksternal, termasuk kebijakan suku bunga The Fed dan isu debt ceiling AS, mempengaruhi pergerakan pasar saham Indonesia. Investor perlu lebih berhati-hati dan mempertimbangkan strategi investasi yang lebih konservatif dalam menghadapi ketidakpastian pasar saat ini.
Kamu harus terdaftar atau login untuk berkomentar Masuk?